Bangsawan Digital vs. Rakyat Internet: Ketimpangan Baru di Dunia Maya?
Membedah ketimpangan akses, algoritma, dan distribusi informasi di era internet. Di masa lalu, ketimpangan adalah urusan kasta, kekuasaan, atau harta benda. Namun di era ini, dunia yang katanya terhubung, justru menyimpan jurang pemisah baru yang nyaris tak kasat mata, ketimpangan digital.
Tak lagi memakai mahkota atau jubah emas, para “bangsawan digital” kini memakai kuota tanpa batas, perangkat premium, dan yang paling menentukan, akses langsung ke kekuatan algoritma.
Sementara di sisi lain, ada “rakyat internet”, mereka yang hidup dari Wi-Fi publik, kuota harian, dan konten-konten viral yang sudah diatur sedemikian rupa agar tidak pernah benar-benar mendidik. Ini bukan sekadar masalah teknologi, tapi gejala sosial baru yang diam-diam membentuk masa depan peradaban digital kita.
Mari kita bedah lapisan demi lapisan: siapa para bangsawan digital itu, bagaimana ketimpangan ini terbentuk, dan apa konsekuensinya bagi masa depan internet yang seharusnya adil, terbuka, dan demokratis.
1. Siapa Bangsawan Digital Itu?
Bangsawan digital bukanlah tokoh fiksi, mereka nyata dan hidup di antara kita. Mereka adalah:
- Penguasa platform: CEO dan pemilik ekuitas besar di perusahaan seperti Google, Meta, Amazon, ByteDance, dan X.
- Pembuat tren: selebritas internet, kreator top yang didukung penuh oleh algoritma.
- Institusi dengan dana besar: korporasi, universitas elite, hingga negara-negara dengan infrastruktur teknologi mapan.
Yang membuat mereka berbeda bukan hanya jumlah follower atau kemampuan server, melainkan hak istimewa terhadap tiga aspek utama:
- Akses awal ke inovasi.
- Kemampuan mengarahkan distribusi informasi.
- Kuasa atas data dan algoritma.
Bayangkan ini seperti zaman feodal, hanya saja tanah diganti dengan data, dan kastil berganti menjadi cloud computing.
2. Rakyat Internet: Terhubung Tapi Terkunci
Di sisi lain, “rakyat internet” adalah mayoritas pengguna: pelajar dengan HP low-end, pekerja dengan sinyal pas-pasan, konten kreator yang berteriak di ruang gema algoritma tanpa pernah terdengar.
Mereka terhubung, iya, tetapi terkunci dalam ekosistem yang mereka tak pahami, apalagi kuasai. Mereka mengonsumsi lebih dari menciptakan. Mereka jadi produk dari sistem yang seharusnya membebaskan mereka.
Satu contoh nyata: akses pendidikan online. Platform seperti Coursera atau edX memang terbuka, tetapi kursus terbaik, dari MIT, Stanford, atau Harvard, seringkali tetap terkunci di balik paywall. Bahkan YouTube, yang katanya platform demokratis, menempatkan konten edukatif di sudut sunyi, sementara konten clickbait dan hiburan receh justru menjulang tinggi di beranda.
3. Algoritma: Pedang Bermata Dua
Algoritma adalah jantung dari dunia maya. Ia bukan hanya sistem logika, tapi penentu takdir digital. Di satu sisi, ia bisa mempercepat penemuan informasi, menciptakan relevansi, dan menyaring kebisingan. Tapi di sisi lain, algoritma juga bisa menjadi alat pemusatan kekuasaan, menentukan siapa yang layak terlihat dan siapa yang harus dikubur dalam senyap.
Kita sering lupa bahwa algoritma bukan netral. Ia dikembangkan oleh manusia dengan niat (dan kepentingan). Logika dari platform seperti TikTok, Instagram, atau YouTube tidak dirancang untuk mendidik masyarakat, melainkan untuk meningkatkan durasi tayang dan pendapatan dari iklan.
Dalam sistem ini, bangsawan digital bisa “memesan algoritma”, menggunakannya untuk memperkuat visibilitas mereka. Rakyat internet? Mereka hanya bisa menebak-nebak apa yang disukai sang algoritma hari ini.
4. Ketimpangan Data
Siapa yang Mengumpulkan, Siapa yang Jadi Komoditas. Data adalah mata uang utama di zaman digital. Tapi, seperti kekayaan di dunia nyata, distribusinya sangat timpang.
- Perusahaan raksasa mengumpulkan data miliaran pengguna tiap detik, menyimpannya di server privat, dan menjadikannya dasar kekayaan.
- Pengguna biasa hanya menghasilkan data, tanpa pernah tahu ke mana arahnya, atau bagaimana nilainya dimonetisasi.
Inilah ironi besar abad ke-21, pengguna adalah pencipta kekayaan, tapi tidak pernah mendapatkan bagian yang layak. Kita adalah buruh tanpa upah di tambang data.
5. Pendidikan Digital yang Tak Merata
Literasi digital menjadi penentu kelas sosial baru. Mereka yang paham cara kerja SEO, AI, blockchain, atau keamanan siber akan melesat jauh. Sementara mereka yang hanya tahu “scroll, like, share” akan terus tertinggal.
Ada kesenjangan besar antara pengguna yang "menggunakan internet" dan yang "mengendalikan internet". Negara-negara maju mulai mengajarkan logika algoritma di bangku sekolah dasar.
Di banyak daerah di Indonesia, bahkan akses sinyal stabil saja masih jadi perjuangan harian. Ini bukan sekadar gap teknologi, tapi ketimpangan epistemik, ketimpangan dalam mengakses dan membentuk pengetahuan.
6. Komunitas Online
Siapa yang Didengar, Siapa yang Diabaikan. Sosial media menjanjikan suara bagi semua orang. Tapi kenyataannya, algoritma masih mengangkat suara dari mereka yang sudah populer, sudah punya jaringan, atau punya modal untuk iklan.
Opini dari komunitas marginal, pelaku UMKM, atau aktivis lokal seringkali terkubur. Bahkan dalam diskusi publik, narasi yang didengar adalah narasi yang dipoles oleh PR agency, bukan kebenaran yang mentah. Jika internet adalah forum raksasa, maka mikrofon hanya dimiliki oleh segelintir orang.
7. Bisakah Demokratisasi Digital Dicapai?
Masih bisa. Tapi perlu revolusi kecil dari setiap level:
- Pendidikan Digital Harus Jadi Prioritas Nasional. Literasi digital bukan lagi pelengkap, tapi kebutuhan dasar. Bukan cuma belajar memakai internet, tapi memahami cara kerja platform, keamanan data, hingga potensi ekonomi digital.
- Desentralisasi Platform dan Teknologi Terbuka. Web3, open source, dan sistem terdesentralisasi bisa jadi solusi jangka panjang. Teknologi seperti Mastodon, Matrix, dan protokol terbuka lainnya memberi alternatif dari dominasi platform sentralistik.
- Transparansi Algoritma. Perlu dorongan kebijakan agar algoritma platform besar lebih transparan. Masyarakat berhak tahu bagaimana sistem rekomendasi bekerja dan siapa yang diuntungkan.
- Dukungan untuk Kreator Kecil dan Konten Lokal. Ekosistem internet perlu dirancang untuk mendorong konten dari komunitas kecil dan lokal, bukan hanya yang menguntungkan dari sisi komersial.
8. Menuju Etika Baru Dunia Maya
Dalam dunia di mana kekuasaan digital lebih besar dari kekuasaan politik, kita butuh kode etik baru. Etika digital bukan sekadar soal keamanan data, tapi keadilan akses, representasi, dan distribusi pengetahuan. Kita butuh Declaration of Digital Rights, piagam yang melindungi hak-hak pengguna internet, termasuk:
- Hak atas privasi
- Hak atas pengetahuan terbuka
- Hak untuk tak dimanipulasi oleh algoritma
- Hak untuk berpartisipasi di dunia digital tanpa perlu menjadi barang dagangan.
9. Rakyat Internet Bukan Objek, Tapi Subjek
Perubahan tidak akan datang dari atas. Seperti semua revolusi, perubahan digital harus dimulai dari bawah, dari rakyat internet sendiri.
- Berani mempertanyakan sistem
- Membangun komunitas mandiri
- Menciptakan konten alternatif
- Mempelajari teknologi, bukan hanya memakainya
Ini bukan soal melawan platform besar, tapi mengambil kembali otonomi atas waktu, perhatian, dan data kita sendiri.
Kesimpulan
Siapa yang Akan Mengendalikan Masa Depan Digital?
Pertanyaan besar di akhir zaman ini bukan lagi "apakah Anda online atau tidak", tetapi "siapa yang mengendalikan ruang digital Anda?"
- Apakah Anda akan terus jadi pekerja algoritma, menyuapi mesin dengan klik dan data?
- Ataukah Anda akan naik level, dari rakyat internet menjadi warga digital yang sadar dan berdaya?
Dunia maya adalah ladang baru kekuasaan.
Tapi juga ladang perlawanan.
Dan seperti semua pertarungan klasik, kisah ini belum selesai.
Masih ada peluang untuk menulis bab baru, bab tentang internet yang lebih setara, lebih adil, dan benar-benar milik semua orang. Tulisan ini bagian dari serial "Kekuasaan di Era Digital" di Idndriver.com, media digital untuk mereka yang ingin memahami, bukan hanya memakai internet.
Post a Comment for "Bangsawan Digital vs. Rakyat Internet: Ketimpangan Baru di Dunia Maya?"
Post a Comment