Setelah Like dan Share Mati: Apa yang Tersisa dari Era Media Sosial?

Bayangkan dunia digital tanpa Facebook, TikTok, atau Instagram. Bayangkan hari di mana tombol "Like" adalah peninggalan arkeologi digital, bukan bagian dari keseharian. Spekulatif? Iya. Mustahil? Tidak juga.
Ilustrasi simbol media sosial seperti like, hati patah, ikon share, dan pengguna dengan tanda silang di latar oranye cerah, menggambarkan era pasca-media sosial.
Hari ini, kita hidup dalam bayang-bayang algoritma. Segala hal harus menjual diri dalam bentuk engagement: like, comment, share, repeat. Tapi seperti semua era dalam sejarah manusia, dari Renaisans sampai Revolusi Industri, masa keemasan media sosial pun bisa memudar. 

Lalu, jika era media sosial berakhir, apa yang tersisa? Dan lebih penting lagi: apa yang akan menggantikannya? Mari kita menyelami spekulasi ini. Bukan dengan paranoia, tapi dengan kepala dingin dan imajinasi terbuka. Seperti seorang navigator digital yang siap menaklukkan samudra baru setelah peta lama terbakar.

1. Kejenuhan Massal: Ledakan yang Tak Terelakkan

Kita mulai dari satu realita: kejenuhan

Konten makin banyak, nilai makin menipis. Satu tarian viral ditelan tarian lain. Satu opini keras dibalas dengan opini yang lebih keras. Kita menjadi zombie digital, menggulir tak sadar, memproduksi konten bukan untuk makna, tapi untuk tetap terlihat hidup.

Menurut survei terbaru (2024), tingkat kecemasan digital pada Gen Z naik 37% dibandingkan lima tahun lalu. Banyak dari mereka bahkan mulai meninggalkan media sosial secara sukarela, bukan karena tidak bisa bersaing, tapi karena merasa tidak ada lagi yang bisa dipercaya. Jika kejenuhan ini menjelma menjadi eksodus massal, maka itulah titik awal keruntuhan.

2. Apa yang Akan Mati Bersama Media Sosial?

Media sosial bukan sekadar aplikasi. Ia adalah ekosistem ekonomi, sosial, dan bahkan politik. Ketika ia mati, ia akan menyeret banyak hal bersamanya:
  • Influencer marketing: Jika tak ada audiens, siapa yang akan di-influence?
  • Iklan berbasis data: Tanpa scroll dan klik, data jadi kering, dan para pengiklan kehilangan emas mereka.
  • Identitas digital: Siapa kita tanpa profil, bio, atau jumlah pengikut?
  • Kebisingan politik: Jika tidak terdapat panggung, bagaimana cara politisi dan buzzer bersuara?
Dan yang paling penting: algoritma kehilangan gigi. Tanpa perilaku pengguna yang bisa dipelajari, sistem otomatis jadi buta. Sebuah ironi digital: kita yang dulu dijinakkan oleh algoritma, kini malah membuat algoritma kehilangan makanan.

3. Dunia Setelahnya: Kembalinya Web yang Lebih 'Manusiawi'?

Kematian media sosial bisa membuka pintu ke sesuatu yang... lebih sehat? Bayangkan internet yang kembali ke akar: komunitas kecil, forum diskusi, blog pribadi, dan interaksi yang lebih intim. Mungkin Reddit dan Discord jadi rumah baru. Mungkin kita kembali menulis email panjang, bukan caption pendek dengan emoji berlimpah.

Lebih jauh lagi, bisa jadi website pribadi kembali berjaya. Seperti idndriver.com ini: rumah digital di mana karakter pemiliknya berbicara lebih keras daripada filter yang digunakan.

Internet bisa menjadi lebih manusiawi. Lebih lambat, lebih dalam, dan lebih otentik. Apakah itu buruk? Tidak. Mungkin ini saatnya kita berkata: selamat tinggal dopamine palsu, selamat datang makna.

4. Teknologi Baru

Apakah Web3 dan Desentralisasi adalah Jawabannya? Web3 sering disebut sebagai messiah digital. Janji-janji indah tentang privasi, kepemilikan data, dan desentralisasi bisa jadi menjadi tumpuan harapan setelah media sosial kolaps.

  • NFT dapat hadir kembali bukan sekadar sebagai gambar monyet yang mahal, tetapi sebagai identitas digital yang asli.
  • DAO (Decentralized Autonomous Organization) bisa menggantikan komunitas digital dengan struktur yang lebih adil.
  • Media sosial yang berbasis blockchain seperti Lens Protocol atau Farcaster dapat berfungsi sebagai pilihan "terdesentralisasi".
Tapi ada satu masalah: teknologi belum cukup matang. Adopsi massal masih jauh. Jadi walau Web3 bisa jadi jawaban jangka panjang, dalam jangka pendek, kita akan memasuki fase kekosongan digital.

5. AI dan Internet Tanpa Manusia?

Ini sisi gelapnya. Ketika manusia mundur dari panggung sosial media, siapa yang mengisi ruang kosong? Jawabannya bisa mengejutkan: AI.

Sudah hari ini, kita lihat AI membuat konten, menjawab pertanyaan, bahkan membangun persona. Jika tak ada manusia yang berteriak, maka algoritma akan tetap hidup dengan cara mereka sendiri. Mereka akan meniru kita, bahkan setelah kita berhenti berbicara.

Bayangkan: sebuah Instagram yang hanya berisi akun bot saling memberi komentar otomatis. Sebuah TikTok di mana semua konten dibuat AI dan ditonton AI lainnya. Kita menciptakan media sosial. Namun, jika kita tidak waspada, media sosial akan hidup tanpa kita. Sebuah Frankenstein digital.

6. Internet Pasca-Sosial: Era Baru Eksplorasi?

Jika semua prediksi di atas terjadi, maka kita memasuki era baru: Internet Pasca-Sosial. Bukan berarti kita berhenti bersosialisasi. Tapi cara kita bersosialisasi akan bergeser.
  • Lebih banyak waktu di dunia nyata: Kafe, taman, komunitas lokal kembali hidup.
  • Virtual World dengan Interaksi Baru: Metaverse bisa (akhirnya) menjadi relevan, bukan karena hype, tapi karena kebutuhan.
  • Kreator mandiri kembali jadi raja: Bukan yang viral, tapi yang otentik. Bukan yang berisik, tapi yang punya suara.
Mungkin kita akan membayar untuk konten berkualitas, bukan konten gratis yang dijual ke pengiklan. Mungkin kita akan lebih banyak membaca blog, mendengar podcast, dan mengikuti buletin. Mungkin, dunia digital akan menjadi lebih sunyi. Tapi dalam kesunyian itu, ada ruang untuk berpikir.

7. Siapa yang Bertahan?

Dalam badai perubahan ini, hanya mereka yang bisa beradaptasi yang akan bertahan.

Platform besar akan mencoba rebranding.
  • Instagram bisa berubah jadi marketplace.
  • Twitter/X bisa menjadi tempat AI berdialog.
  • TikTok? Entah. Mungkin berubah jadi media hiburan murni, bukan sosial.

Para konten kreator harus memilih: adaptasi atau punah.

  • Orang-orang yang selama ini hanya mengandalkan tren akan menghilang.
  • Tapi mereka yang punya cerita, gaya, dan komunitas sejati akan terus bertahan.
Pengguna? Kita semua harus memutuskan:
  • Apakah kita ingin tetap menjadi produk?
  • Atau ingin mendapatkan kembali penguasaan atas waktu dan pikiran kita?

Kesimpulan

Dunia Tanpa Media Sosial Bukan Akhir, Tapi Awal Baru. Setiap era besar punya akhirnya. Setiap akhir, membawa kebangkitan. Media sosial telah mengubah dunia, baik dan buruk. Tapi seperti televisi, radio, dan koran, waktunya bisa saja habis. 

Dan ketika itu terjadi, kita akan dipaksa untuk bertanya: apa makna dari eksistensi digital kita Apakah kita ingin terus menjadi pengumpul likes, pemburu views, budak algoritma?

Atau, kita ingin membangun internet yang lebih sejati: tempat di mana suara individu didengar bukan karena viral, tapi karena berarti. Mungkin... hanya mungkin... kita sedang menuju kebangkitan Internet 2.0 yang lebih dewasa. Bukan era media sosial. 

Tapi era media personal. Jika kamu membaca artikel ini sampai selesai, maka kamu termasuk golongan yang langka: penjelajah digital sejati. Dan untukmu, dunia baru telah menunggu. Tanpa tombol Like, tapi penuh makna. Tanpa algoritma, tapi penuh arah.

Post a Comment for "Setelah Like dan Share Mati: Apa yang Tersisa dari Era Media Sosial?"