2045: Indonesia Emas atau Indonesia Cemas?
Selamat datang di 2045. Tahun yang telah lama dibicarakan. Tahun ketika Indonesia genap berusia satu abad. Tapi pertanyaannya tetap sama: apakah kita sedang memasuki era keemasan, atau justru menapaki era kecemasan digital, sosial, dan ekologis yang tak terkendali?
Nostalgia Masa Depan: Sebuah Janji Bernama “Indonesia Emas”
Mari kita buka kembali folder arsip nasional. Di tahun 2019, pemerintah meluncurkan visi besar bernama “Indonesia Emas 2045.” Kata-kata seperti bonus demografi, ekonomi maju, transformasi digital, dan SDM unggul, berseliweran dalam dokumen strategi.
Seolah-olah semua sudah dipetakan. Seolah-olah masa depan adalah soal logika linier. Tapi seperti kita tahu, masa depan bukan spreadsheet. Ia adalah teka-teki kompleks, penuh glitch, lag, dan kadang perlu di-restart total.
Realitas 2025–2045: Dunia yang Tak Lagi Sama
Lima tahun pertama menuju 2045 menyajikan spoiler alert bagi siapa pun yang berani bercermin:
- Krisis iklim menggila: Jakarta sedang digantikan oleh Ibu Kota baru, tetapi cuaca ekstrem, banjir besar, dan kegagalan panen tidak memandang tempat tinggal.
- Kesenjangan digital meningkat: Di kota, anak-anak belajar AI sejak SMP. Di desa, sinyal masih bergantung pada cuaca.
- Kedaulatan data dipertanyakan: Data warga Indonesia tersimpan di server luar negeri. Sementara deepfake, hoaks, dan algoritma toksik merajalela.
- Ekonomi berbasis platform terus membesar: Tapi siapa yang punya platformnya? Kita hanya penyedia data, tenaga kerja, dan waktu layar.
Apakah ini gambaran menuju Indonesia Emas? Ataukah sebuah sinyal bahwa emas bisa berubah jadi debu jika tak ditambang dengan hati-hati?
Indonesia Digital: Panggung Besar Tanpa Sutradara?
Mari bicara serius soal digitalisasi. Indonesia merupakan salah satu pasar daring paling besar di dunia. Tapi terlalu sering kita jadi konsumen, bukan arsitek teknologi. Pada 2030, diprediksi Indonesia memiliki potensi ekonomi digital sebesar \$146 miliar.
Namun, seberapa besar bagian dari itu yang dirasakan oleh para pelaku lokal? Apakah kita sudah punya search engine sendiri? Marketplace dengan teknologi buatan anak negeri? Atau masih sebatas bangga jadi reseller dari algoritma asing?
Ekosistem startup memang tumbuh. Tapi banyak yang tumbang sebelum tumbuh akar. Kenapa? Karena mindset kita masih terlalu sering build to be acquired, bukan build to lead.
Bonus Demografi atau Beban Demografi?
Jargon lain yang sering dikunyah dalam narasi “Indonesia Emas” adalah bonus demografi. Katanya, usia produktif akan mendominasi pada 2030–2045. Tapi siapa yang menjamin mereka akan produktif secara nyata?
Jika pendidikan tertinggal, keterampilan digital minim, dan ekonomi stagnan bonus itu bisa berubah jadi ledakan pengangguran digital. Generasi yang frustrasi, terjebak utopia media sosial, namun nihil akses terhadap pekerjaan bermakna.
Coba buka TikTok. Lihat betapa banyak anak muda pintar, kreatif, namun terpaksa membuat konten receh hanya demi mengejar algoritma. Mereka bukan bodoh. Mereka hanya belum diberi jalan untuk jadi besar, tanpa harus menari di depan kamera demi validasi semu.
Teknologi: Pedang Bermata Dua
Kita hidup dalam dunia di mana AI bisa menulis puisi, menggambar lukisan, bahkan memecahkan soal hukum. Tapi teknologi bukan jawaban otomatis. Ia seperti pedang: bisa melindungi, bisa melukai. Tergantung siapa yang memegang gagangnya.
Jika AI dipegang oleh segelintir elite, maka teknologi hanya akan melanggengkan kekuasaan lama dalam bungkus baru. Tapi jika kita bisa menciptakan AI lokal, dengan etika lokal dan tujuan sosial, maka Indonesia bisa memimpin bukan hanya sebagai pasar, tapi sebagai pionir moral dalam era digital.
Sayangnya, belum banyak ruang untuk itu. Riset dan pengembangan masih terbatas. Dana habis untuk proyek jangka pendek, bukan riset jangka panjang. Apakah ini cara kita membangun masa depan?
Jangan Sampai Emas Kita Datang dari Tambang Masa Depan
Jangan lupa satu hal: masa depan bukan hanya tentang data dan device. Tapi juga tanah, air, dan udara. Jika kita berusaha mendapatkan “emas” dengan merusak lingkungan tanpa batas, maka generasi yang lahir pada tahun 2045 akan hidup di negara yang kering, panas, dan tidak layak huni. Tak peduli seberapa cepat koneksi 6G, jika sungai tak lagi bisa diminum dan sawah berubah jadi tambang nikel, maka semua yang kita bangun hanyalah simulasi kemajuan.
Menuju Indonesia Emas: Tiga Tindakan Nyata
Mari kita ubah arah. Bukan dengan menolak teknologi, tapi dengan mengendalikannya secara sadar. Bukan dengan memuja angka-angka ekonomi, tapi dengan membangun nilai dan kapasitas manusia. Berikut adalah tiga langkah berani untuk menjadikan Indonesia 2045 benar-benar Gemilang:
1. Kedaulatan Teknologi & Data
Bangun infrastruktur digital nasional yang tidak hanya cepat, tapi aman dan mandiri. Server data, cloud lokal, dan algoritma berbasis etika nusantara harus jadi prioritas. AI kita harus mengerti bahasa ibu, memahami konteks lokal, dan menjaga nilai budaya.
2. Investasi Jangka Panjang pada Talenta Lokal
Hentikan obsesi pada hasil instan. Biarkan generasi muda belajar coding, robotics, green tech, bahkan filosofi digital. Indonesia tidak butuh jutaan content creator viral, tapi ribuan arsitek peradaban baru.
3. Ekonomi Berkelanjutan Berbasis Teknologi Hijau
Teknologi harus menyelamatkan bumi, bukan mempercepat kehancurannya. Ciptakan kota pintar yang sejati ramah lingkungan, tidak hanya dipenuhi oleh perangkat sensor. Kembangkan energi terbarukan, bukan hanya karena tren, tapi karena kebutuhan eksistensial.
Kesimpulan
2045 Milik Kita, Bukan Milik Mereka. Indonesia Emas bukan hadiah ulang tahun. Ia adalah hasil kerja keras, visi panjang, dan keberanian berpikir berbeda. 2045 akan datang, suka atau tidak.
Apakah ia akan jadi babak baru yang membanggakan, atau drama distopia yang kita tonton dengan getir, itu tergantung pada kita, para pengemudi era digital ini. Di era di mana semua bergerak cepat, kadang yang paling berani adalah mereka yang berani berhenti sejenak, menatap ke depan, dan bertanya: apakah kita sedang melaju ke arah yang benar?
Post a Comment for "2045: Indonesia Emas atau Indonesia Cemas?"
Post a Comment